WahanaNews - Gorontalo | Tahun ini, PT PLN (Persero) membutuhkan pasokan biomassa sebanyak 450.000 ton sebagai campuran (co-firing) batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kebutuhan tersebut akan melonjak menjadi 2,2 juta ton pada 2023.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyampaikan bahwa co-firing adalah proyek untuk mengurangi ketergantungan energi fosil batu bara yang menjadi salah satu produsen emisi karbon. Proyek co-firing merupakan langkah awal sebelum PLN mempensiunkan PLTU pada 2050.
Baca Juga:
PLN Raih Penghargaan di Bidang Kemanusiaan & Penanganan Covid
Akibat kebutuhan pasokan biomassa yang besar, Darmawan mengajak masyarakat untuk turut serta dalam rantai pasok co-firing biomassa. Masyarakat bisa terlibat dalam pembuatan hutan energi serta pengelolaan sampah rumah tangga menjadi biomassa yang berpotensi menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru.
Adapun mayoritas penggunaan biomassa saat ini masih dipasok dari limbah, yakni dari serbuk gergaji, tandan kosong sawit, sekam padi, dan sampah.
“Karena kebutuhannya sangat besar, 450 ribu ton tahun ini dan 2,2 juta ton di tahun depan. Harapannya, semua itu bisa disediakan oleh rakyat dan dampaknya akan kembali kepada rakyat,” kata Darmawan dalam siaran pers pada Selasa (19/7).
Baca Juga:
PLN-Pemprov Kalbar Siap Bersinergi dan Berkolaborasi Tingkatkan Layanan
Darmawan menambahkan, rantai pasokan bahan bakar biomassa akan mengoptimalkan lahan-lahan tandus dan pengolahan sampah. Sehingga dalam prosesnya akan menciptakan lapangan kerja sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi dan mendukung target bauran 23% pada 2025 dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
“Melalui teknologi co-firing ini, PLN bisa mendapatkan beberapa manfaat sekaligus. Menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU, meningkatkan bauran energi serta memaksimalkan potensi PLTU yang ada sebelum akhirnya benar benar pensiun dini,” sambung Darmawan.
Sementara itu, Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan (EBT), Wiluyo Kusdwiharto menjelaskan bahwa PLN perlu mengembangkan pasokan biomassa yang lebih sustain dengan penanaman hutan tanaman energi.
Ia menganggap, program co-firing biomassa adalah langkah tepat karena mampu meningkatkan bauran EBT sekaligus memanfaatkan aset pembangkit yang dimiliki PLTU. Program ini sendiri ditargetkan menyumbang 3,5% bauran EBT dengan memanfaatkan 10,2 juta ton biomassa untuk 52 PLTU batu bara di tahun 2025.
“Kami perlu membangun rantai pasok yang terintegrasi. Mulai dari unit-unit di daerah, anak perusahaan, hingga masyarakat. Mulai dari penanaman hutan, pengangkutan, hingga pemanfaatan dalam PLTU-nya,” jelas Wiluyo.
Adapun PLN telah melakukan uji coba co-firing di 47 PLTU. Sampai pertengahan Juni 2022, sudah ada 32 PLTU yang menggunakan biomassa dan ditargetkan mencapai 35 PLTU di akhir tahun. Langkah tersebut akan menghabiskan 540 ribu ton biomassa dan mengurangi emisi karbon sebesar 529 ribu ton.
“Dalam menjaga keberlanjutan pasokan melalui pendampingan, perencanaan, pengelolaan, hingga komersialisasi ke masyarakat akan memberikan multiplier effect pada daerah melalui peran serta masyarakat,” jelas Wiluyo.
Menurut catatan dari Kementerian ESDM, sejauh ini PLN sudah melaksanakan ujicoba co-firing pada 26 PLTU dengan porsi biomassa 1-5%. Mereka menyatakan, kapasitas total listrik yang dihasilkan dari co-firing PLTU PLN mencapai 18 gigawatt (GW) pada 2024.
Dari 26 lokasi pelaksanaan ujicoba PLTU, sebanyak 13 PLTU telah menerapkan implementasi co-firing biomassa secara komersial. Adapun PLTU telah menerapkan co-firing diantaranya PLTU Painton (800 MW), PLTU Rembang (630 MW), PLTU Suralaya (1.600 MW), PLTU Pelabuhan Ratu (1.050 MW) serta PLTU Lontar (945 MW).[mga]