Gorontalo.WahanaNews.co, Gorontalo Utara - Legislator DPRD Gorontalo Utara meminta kepada pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, untuk segera mengatasi kerusakan hutan yang menjadi penyebab bencana banjir di wilayah Tolinggula.
"Banjir bandang pada Minggu (7/4/2024) membuktikan adanya kerusakan hutan yang semakin parah, mengingat wilayah Tolinggula tidak pernah dilanda banjir separah ini namun pekan kemarin banjir meluas, kata anggota Komisi I DPRD Gorontalo Utara Lukman Botutihe, di Gorontalo, Sabtu (13/4/2024).
Baca Juga:
Masyarakat Diminta Waspada, Jakarta Terancam Banjir Besar Saat Libur Nataru
Ia menjelaskan, banjir tidak hanya memporak-porandakan permukiman warga namu juga merusak alam seperti sungai dan banyak longsoran kecil di perbukitan. "Ini banjir terparah dan perlu solusi secepatnya," katanya.
Ia mengatakan sejak lama sering menyuarakan langkah mengantisipasi dan mencegah kerusakan hutan sebab dampaknya sangat merugikan.
"Wilayah Tolinggula ini punya sejarah banjir lumayan parah di Tahun 1986. Saat itu hanya melanda Desa Tolinggula Ulu dan Tolite Jaya. Namun sekarang merambat hingga enam desa yang sebelumnya tidak pernah dilanda banjir separah ini. Artinya indikasi kerusakan hutan semakin parah. Apalagi banjir banyak membawa material lumpur," kata Lukman.
Baca Juga:
BMKG Sebut Daerah-daerah Ini Berpotensi Tinggi Banjir
Ia meminta pemerintah provinsi, pemerintah daerah bahkan pihak TNI dan Polri dapat bekerja sama mengatasi pembalakan liar, menangkap oknum-oknum pelaku yang dengan sengaja merusak hutan.
"Saya meminta Bapak Kapolda yang baru agar dapat memberi atensi dan bersikap tegas mengatasi oknum-oknum pelaku pembalakan liar sebab aksi mereka berdampak pada kerusakan alam dan menyebabkan banjir yang membuat masyarakat menderita. Jika ada oknum anggota TNI dan Polri yang terlibat melindungi aksi pembalakan liar agar dapat ditindak tegas. DPRD prihatin dengan kondisi ini, saya berharap ada tindakan konkret untuk itu," kata Lukman pula.
Masyarakat pun diminta untuk tidak membuka sistem ladang berpindah, dan tidak menanam di kemiringan lebih dari 45 derajat.